Unas : Evaluasi pendidikan yang tidak mendidik


Ritual tahunan untuk siswa SMA dan SMP (Unas) telah selasai. 4 hari menjadi waktu yang penting dan paling menentukan lulus atau tidak. padahal waktu mereka belajar selama 3 tahun dan dinyatakan lulus atau tidak hanya dalam waktu 4 hari. beragam ekspresi yang ditampakkan siswa, ada yang harap harap cemas , ada yang menangis karena tidak dapat mengerjakan dengan baik, dan ada yang tenang-tenang saja karena mereka ada yang membantu

Tahun ini memang berita tentang kecurangan yang dilakukan pihak sekolah yang terekspos media relatif sedikit, bila dibandingkan dengan tahun tahun sebelumnya, namun diakui atau tidak, sebenarnya bentuk bentuk kecurangan Unas saat ini terorganisir lebih rapi sehingga jarang terungkap media. Dan itu tidak hanya dilakukan oleh sekolah di daerah terutama daerah pinggiran yang sekolahnya serba terbatas dari fasilitis sekolah yang mendukung pembelajaran, tetapi juga dilakukan oleh sekolah sekolah yang memiliki fasilitas lebih lengkap dan memadai

Hal ini tidak terlepas dari dari upaya pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesa dengan meningkatkan standar kelulusan tiap tahun. Upaya tersebut memang patut diapresiasi, beragam respon masayarakat, ada yang keberatan, meskipun demikian menurut pemerintah, standar kelulusan yang ditetapkan sekarang yaitu sebesar 5,50 masih jauh dibawah standar kelulusan negara- negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, sehingga standar kelulusan itu dianggap realistis oleh pemerintah

Faktanya banyak sekolah yang merasa khawatir dengan standar kelulusan tersebut karena kemampuan seluruh siswanya berdasarkan hasil uji coba yang dilakukan sekolah masih ada yang mendapatkan nilai di bawah standar kelulusan, sehingga bila harus dipaksakan untuk mengerjakan sendiri dikhawatirkan tidak lulus. Guru pasti tidak tega melihat siswanya tidak lulus

Atas dasar itulah sekolah- sekolah melakukan upaya yang menjurus pada suatu yang tidak bisa dibenarkan secara hukum atau secara moral. Untuk meluluskan semua siswanya sekolah membentuk tim sukses untuk amankan agar semua siswanya lulus. Tim itu memakai kode kode tertentu untuk membantu siswanya menyelesaikan jawaban soal-soal Unas (Jawa Pos edisi 30 april 2009 hal 13). Entah memang benar atau sekedar isu, dimungkingkan hal itu tidak hanya terjadi di satu daerah saja tetapi hampir di semua daerah. Dalam koran tersebut dijelaskan juga sebenarnya pelaku dari hati nuraninya tidak setuju dangan adanya cara-cara tersebut, tapi mereka mengatakan mereka tidak kuasa menolak sistem

Yah..........karena sistem inilah, apapun upaya yang bentuknya mengarah pada kecurangan dianggap bukan lagi menjadi sesuatu yang salah, tapi menjadi sebuah kebutuhan, karena sekolah butuh image, prestise dan sekolah tidak tega bila siswanya ada yang tidak lulus. Menurut mereka kecurangan itu bukan untuk kepentingan pribadi, tapi untuk kepentingan bersama, kepentingan siswa, kepentingan wali murid, dan kepentingan sekolah bahkan kepentingan Pemerintah Daerah .

Sebagai pengajar, penulis sangat prihatin sekali dengan kondisi saat ini. Pendidikan yang seharusnnya mulia, bermartabat, dan mendidik anak berakhlak mulia sebagaimana yang terdapat dalam UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 pasal 3 yang berbunyi “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab” hanya menjadi sebuah jargon yang berada di nun jauh di awan.

Tujuan pendidikan yang mulia tersebut telah ternodai oleh sebuah kondisi yang disebabkan oleh sistem yang dipaksakan, betapa tidak, sekolah sekolah yang keberatan dengan standar tersebut, mau tidak mau harus ikut, akhirnya mereka memilih cara yang tidak benar, pihak sekolah yang seharusnya menanamkan kejujuran, akhlak mulia, telah melibatkan siswa didiknya untuk bekerja sama melakukan kecurangan secara jelas,dan lebih menprihatinkan lagi yang menanamkan ketidakjujuran adalah pendidik, pihak yang selama ini dipercaya sebagai panutan siswanya.

Kita tidak bisa menbayangkan bagaimana kondisi negeri ini 10 -15 tahun ke depan, apakah akan muncul generasi yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan ?, tentunya kita tidak ingin hal itu terjadi. Cukuplah pengalaman krisis 98 menjadi pelajaran berharga bahwa membangun negeri ini tidak cukup dengan kepandaian otak saja, tapi harus diimbangi dengan pendidikan budi pekerti atau moral.

Agar keprihatihan tersebut tidak berlanjut harus segera dicarikan solusi, salah satu caranya adalah segera mengubah sistem. Pemerintah bisa memakai sistem yang disampaikan dari beberapa ahli pendidikan, yaitu dengan membuat sekolah dengan standar yang berbeda disesuaikan dengan kemampuan sekolah masing-masing misalnya sekolah standar A, sekolah standar B, sekolah standar C, dimana sekolah yang berbeda standar memiliki standar kelulusan yang berbeda pula,

standar itu akan dinaikkan sampai mencapai standar ideal yang ditetapkan pemerintah, misalnya pemerintah mematok sandar kelulusan ideal adalah 8,00, dan itu dilaksanakan secara bertahap, misalnya tahun ini sekolah standar A memiliki standar kelulusan 5,50 , sekolah standar B memiliki standar kelulusan 4,50, sekolah standar C memiliki standar kelulusan 3,50, maka tahun depan sekolah standar A harus 5,75, sekolah standar B harus 4,75, sekolah standar C harus 3,75 dan seterusnya sampai standar ideal itu telah tercapai oleh semua sekolah baik sekolah standar A, B, maupun C.

Karena adanya standar yang berbeda, maka waktu yang diperlukan oleh setiap sekolah untuk mencapai standar ideal akan berbeda, sekolah yang bersandar A akan lebih cepat mencapai standar ideal dari pada sekolah sekolah standar B dan C. Tentunya sekolah sekolah yang berstandar B dan C tidak dibiarkan begitu saja, tapi ini menjadi PR bagi pemerintah daerah terutama Dinas Pendidikan untuk menyelasaikannya. Apalagi saati ini sudah masuk era otonomi daerah yang memberikan kewenangan penuh pada pemerintah daerah untuk mengelola daerahnya.

Penentuan sekolah standar inipun harus dilaksanakan secara ketat dan benar benar apa adanya, bukan direkayasa sehingga mencerminkan kondisi riel sekolah yang mendapat standar tersebut, kriteria penentuan standar ini bisa memakai beberapa aspek misalnya sarana prasarana, row input siswa, kualitas guru, dsb.


Memang bila hal itu diterapkan, dari segi teknis akan sedikit merepotkan pemerintah karena harus merubah sistem, tetapi mau apa lagi, tentu kita juga tidak mungkin membiarkan sistem ini akan merusak generasi bangsa. Dengan mengubah sistem saat ini menjadi sistem sekolah standar, maka akan mengurangi kegelisahan guru yang selama ini berperang dengan hati nuraninya yang mengajarakan kejujuran dan kebaikan melawan sistem yang telah memaksa mereka melakukan ketidakjujuran.

Penulis yakin guru bangsa ini adalah guru yang terbaik, guru yang mulia. Jangan paksa mereka menjadi guru yang tidak baik dengan cara memaksakan sistem yang tidak realistis. Semoga pendidikan kita ke depan semakin baik amin......

0 Komentar