DPI (Dagelan Pendidikan Indonesia)

Entah bahasa apa lagi yang harus digunakan untuk mengungkapkan keprihatian tentang dunia pendidikan kita. Bagi sebagian orang akan terkejut takkala membaca berita Jawa Pos edisi 31 Mei 2009 hal 1, tertulis ada 19 SMA di Indonesia Yang 100 persen siswanya tidak lulus Unas, hal itu terjadi karena mereka mengerjakan soal Unas dengan cara menyontek kunci jawaban yang mereka dapatkan sehari sebelum Unas dilaksanakan. Dan ternyata kunci jawaban itu salah semua .Siswa yang tidak lulus Unas pada 16 SMA tersebut akan mengikuti ujian ulangan pada tanggal 8 – 12 juni 2009.


Click here to view more

Sungguh ini sebuah gagasan yang tidak masuk akal dan menjadi kejanggalan yang besar. Sepertinya pemerintah menolelir adanya kecurangan itu. Seharusnya apapun resikonya mereka yang dinyatakan tidak lulus tidak perlu ada ujian ulangan. Karena hal ini akan menimbulkan kecemburuan social pada siswa yang lain. kalau pemerintah mengadakan ujian susulan kepada siswa yang melakukan kecurangan, maka pemerintah juga harus berani mengadakan ujian ulangan untuk anak yang tidak lulus tetapi mereka mengerjakan dengan jujur.



Pemerintah begitu yakin. Bahwa tidak ada kebocoran jawaban Unas, tetapi di lapangan yang terjadi lain, kalupun pemerintah tidak mau mengakui terjadi kebocoran, apapun bahasanya masih banyak sekolah - sekolah yang mempraktekkan ketidakjujuran (kecurangan) pada saat pelaksanaan Unas berlangsung



Inilah sebagian bukti ketidakberesan dari dari apa yang selama ini diklaim oleh pemerintah bahwa Unas berlangsung dengan baik, Unas berlangsung dengan jujur. Unas berlangsung dengan tertib, tidak ada kebocoran, tidak ada kecurangan, dsb. Pemerintah begitu yakin bahwa Unas berjalan dengan baik karena adanya badan yang mengawasi pelaksanaan Unas (Tim Independen)



Sebenarnya bukan ketidaklulusan siswa yang menjadi hal yang memalukan, tetapi kecurangan sekolah menjadi sesuatu yang lebih memalukan lagi karena didalamnya terdapat pelaksana pendidikan (kepala sekolah dan guru) yang menjadi motor penggerak generasi bangsa ke depan. Kalau motornya saja sudah rusak bagaimana dengan hasilnya?



Pemerintah harus sadar bahwa kecurangan apapun bentuknya yang terekspos media sangat kecil sekali jumlahnya dibandingkan dengan yang tidak terekspos. Jangan dikira yang terjadi kecurangan hanya terjadi di 16 SMA di seluruh Indonesia tetapi penulis yakin kecurangan itu (meskipun tidak semua) tapi hampir dilakukan di sebagian besar SMA di seluruh Indonesia, Cuma mereka sedikit lebih beruntung tidak ketahuan media.



Apakah peristiwa ini tidak membuka mata hati pemerintah bahwa ada yang tidak beres dengan system kelulusan yang dipakai saat ini, oleh karena itu system ini harus segera direvisi. Pemerintah perlu mendengar aspirasi dari bawah, Dari guru guru yang selama ini memang tahu betul kemampuan anak didiknya. Pemerintah jangan memaksakan idealisme yang terlalu muluk-muluk dengan membuat sistem kelulusan yang terlalu dipaksakan. Bila system ini diteruskan maka pemerintah yang sekarang akan ikut mewarisi dosa yang telah dilakukan oleh generasi penerus bangsa pada masa yang akan datang



kita sangat sepakat dengan apa yang sudah disampaikan oleh beberapa ahli pendidikan. Bahwa jangan pukul rata semua SMA dengan standar kelulusan yang sama. Masa, sekolah SBI memiliki standar kelulusan yang sama dengan sekolah yang akreditasinya mendapatkan nilai C. standar kelulusan ini harus disesauikan dengan kondisi prasarana sekolah, kondisi georafis sekolah, kulitas sekolah dsb, Sehingga hal ini (meskipun tidak menghentikakn kecurangan sama sekali) tapi setidaknya dapat mengurangi kecurangan yang selama ini terjadi karena dipaksakan oleh sebuah system yang dibuat pemerintah



semoga kejadian ini membuka mata hati kita semua bahwa membangun negeri ini tidak cukup dengan kemampuan kognisi saja, tetapi harus disertai dengan pendidikan moral

0 Komentar